Selasa, 20 Oktober 2015

Hukum Menyebutkan Sayyidina Muhammad

0 komentar
Hukum Menyebutkan Sayyidina Muhammad

Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Lafadh “sayyidina” dalam bahasa arab maknanya ialah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama berikut ini:

1). Al-Imam Muhyidin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasqi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah olehmu bahwa lafadh sayyid itu adalah gelar yang diberikan kepada orang yang paling tinggi kedudukannya pada kaumnya dan paling dimuliakan mereka. Lafadh ini diberikan pula bagi pimpinan dan orang mulia. juga lafadh ini diberikan kepada orang yang penyabar yang mampu menguasai kemarahan dan mampu mengendalikannya. Diberikan pula lafadh sayyid kepada dermawan, dan kepada raja (kepala negara). Juga lafadh ini diberikan oleh istri kepada suaminya. Dan terdapat banyak hadits memberikan istilah sayyid kepada orang yang mempunyai keutamaan.” (Al-Adzkar An-Nawawi, hal. 418, Fashlun fi Lafdlis Sayyid)

2). Al-Imam Majduddin Abus Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan: “Kata As-Sayyid sebagai sebutan bagi Allah, diberikan pula sebagai panggilan bagi raja (kepala negara), orang yang terhormat, orang mulia, dermawan, penyabar, yaitu orang yang sabar menanggung gangguan yang menyakitkan kaumnya. Kata itu juga diberikan bagi suami, juga pimpinan dan orang yang dikedepankan dalam kalangan kaumnya…. (An-Nihayah jilid 2 hal. 418)

Dari keterangan dua ulama tersebut tahulah kita bahwa gelar as-sayyid adalah kehormatan bagi pihak yang digelari dengan kata tersebut. Adapun kenyataan bahwa sebagian orang memahami dilarang memberi gelar sayyidina Muhammad bagi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam karena salam paham terhadap hadits Nabi berikut ini:

Dari Abdillah bin Asy-Syakhkhir, dia menceritakan bahwa ayahnya menceritakan: Datang seorang pria menghadap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Pria tersebut menyatakan kepada beliau: “Engkau adalah sayyid Quraisy.” Maka Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Yang dikatakan as-sayyid itu adalah Allah.” Kemudian pria menyatakan lagi kepada beliau: “Engkau itu adalah orang yang paling utama omongannya dari kalangan mereka dan paling agung kedudukanmu. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “hendaknya kalian menyatakan tentang aku seperti yang dikatakan oleh Allah (yakni sebagaimana Allah menggelari beliau, yaitu Nabiyullah dan Rasulullah) dan jangan sampai setan menyeret dia kepada tipu dayanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 hal. 24 – 25)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menolak untuk dikatakan sebagai sayyidu Quraisy. Sehingga dipahami oleh sebagian orang bahwa tidak boleh menyebut sayyidina Muhammad. Dan pemahaman yang demikian tidaklah tepat bila melihat kelengkapan hadits ini. Dari kelengkapan hadits ini sesungguhnya kita dapat mengerti bahwa yang beliau tolak adalah sikap memuji-muji yang melampaui batas dan yang demikian ini akan memberi peluang kepada setan untuk menyeret yang dipuji maupun yang memuji dalam perangkapnya. Al-Imam Abu Sa’adat Ibnul Atsir rahimahullah menerangkan tentang hadits tersebut: “Beliau memang sepantasnya menduduki posisi pimpinan. Tetapi beliau tidak suka disanjung di depannya dan beliau lebih suka tawadlu’ (berendah hati)).” (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 2 hal. 417).

Jadi bukan karena beliau melarang pemberian gelar sayyid bagi beliau karena hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang lainnya menegaskan tentang kedudukan beliau sebagai sayyid:
“Aku adalah sayyid (junjungan) anak Adam pada hari kiamat dan orang pertama yang terbuka kuburnya di hari kebangkitan dan orang pertama yang mensyafaati dan orang pertama yang disyafaati.” (Berkata Al-Imam As-Suyuthi dalam kitab beliau Jam’ul Jawami’ (Al-Jami’ul Kabir): “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu.”)
(Lihat Jami’ul Ahadits, As-Suyuthi jilid 2 hal. 190 hadits 4770)

Maka sesungguhnya mengucapkan sayyidina Muhammad, sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Ali dan selanjutnya adalah boleh, kecuali dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam shalat, seperti shalawat Nabi dalam duduk at-tahiyyat. Nabi kita mengajarkan shalawat itu tanpa kalimat sayyidina Muhammad atau pun sayyidina Ibrahim. Maka kita tidak boleh menambahkan sayyidina ketika membaca shalawat tersebut karena beliau tidak mengajarkannya, sebab Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda:
“Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat.”
Continue reading →

Pengertian Dan Penjelasan Part Of Speech

0 komentar
PART OF SPEECH
Part Of Speech is a category or group of words based on their function in a sentence.
Part of Speech adalah kategori atau kelompok kata berdasarkan fungsi mereka dalam sebuah kalimat.
NOUN
Noun is everything we see or we can talk about and show people, objects, places, plants, animals etc
Noun (Kata Benda) adalah segala sesuatu yang kita lihat atau dapat kita bicarakan dan yang menunjukkan orang, benda, tempat, tumbuhan, hewan, dll
Example:
cousin - zebra - lion - house - table - printer – ice- computer
sepupu - zebra - singa- rumah - meja - printer - es – komputer
VERB
Verb (verb) is a word that shows the name of the deeds done by the subject,. :
Verb (kata kerja) adalah kata yang menunjukkan nama perbuatan yang dilakukan oleh subjek,
Example:
write, grow, sleep,stay, feel, read, build, write, open, close, dll
menulis, tumbuh, tidur, tinggal, merasa, membaca, membangun, menulis, membuka, menutup, dll
ADJECTIVE
Adjective is a word that describes a noun (noun) or pronoun (pronoun)
Adjective adalah kata yang menjelaskan kata benda (nomina) atau kata ganti (ganti)
Example:
You look beautiful. --> Quality
(Kamu kelihatan cantik)
My book is expensive. --> Possessive
(Buku saya mahal)
ADVERB
Adverb is a word that serves to provide information
Adverb adalah kata yang berfungsi untuk memberikan keterangan
Example:
She is cooking in the kitchen right now.
(Dia sedang memasak sekarang)
Adverbs of manner, describe how something happens.
Adverb dari cara, menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi.
Example:
Carefully, correctly, easily, fast, loudly, quickly.
Dengan hati-hati, dengan benar, mudah, cepat, keras, cepat.
She write her paper quickly./ Dia menulis makalah dengan cepat.
Adverbs of time, describe when something happens.
Kata keterangan waktu, menjelaskan ketika sesuatu terjadi.
Example:
After, already, during, finally, just, last, later, next, now, recently, soon, then, tomorrow, when, while,
and yesterday.
Setelah, sudah, saat, akhirnya, adil, lalu, kemudian, selanjutnya, saat ini, baru-baru ini, segera, maka, besok, saat, sementara dan kemarin.
He came home before dark./ Dia pulang sebelum gelap.
Adverbs of place describe where something happens.
Kata keterangan tempat menjelaskan di mana sesuatu terjadi.
Example:
anywhere, here, home, out, outside, somewhere, there, underground.
di mana saja, di sini, di rumah, keluar, di luar, di suatu tempat, di sana, di bawah tanah.
I want to go upstairs./ Aku ingin pergi ke lantai atas.
Adverbs of frequency, describe how often something happens.
Kata keterangan frekuensi, menjelaskan seberapa sering sesuatu terjadi
Example:
Always, every, never, often, seldom, sometimes and usually.,
Selalu, setiap, tidak pernah, sering, jarang, kadang-kadang dan biasanya.,
the fish usually swim in the river/ ikan biasanya berenang di sungai
Adverbs of duration, describe how long something happened.
Kata keterangan dari durasi, menjelaskan berapa lama sesuatu terjadi.
Example:
briefly, forever, shortly, permanently, temporarily etc.
sebentar, selamanya, tak lama, tetap/selamanya, sementara dll
The phone was temporarily out of order./Telepon itu sementara rusak.
PRONOUN
Adalah kata yang menggantikan kata benda (nomina).
Example:
She is a doctor /Dia adlah seorang dokter
I, you, this, they, him / Saya, Anda, ini, mereka, dia
CONJUNCTION
Conjunction is a word used to connect words, phrases or sentences.
Konjungsi adalah kata yang digunakan untuk menghubungkan kata-kata, frase atau kalimat
Example:
You and I will go to Bali tomorrow. (Saya dan kamu akan pergi ke Bali besok)
and, but, or, for, yet, so/ dan, tetapi, atau, untuk, belum, jadi
INTERJACTION
Interjaction is a word that shows feelings or emotions
Interjaction adalah kata yang menunjukkan perasaan atau emosi
Example:
Contoh Kalimat:
Hurray! = Hore!
Alas! = Aduh! Sayang!
Bravo! = Bagus sekali!
Hush! = Diam!
Bosh! = Omong kosong!
Ah! = Aduh!
Dear me! = Astaga!
For heaven's sake! = Ya Allah!
Good heavens! = Masya Allah!
Good Lord! = Astaga!
Farewell! = Selamat Jalan!
Well done! = Bagus sekali!
Thank goodness! = Syukurlah!
Thank God! = Alhamdulillah!
ARTICLE
Article is a word to indicate the type of reference being made by the noun.
Adalah kata untuk menunjukkan jenis referensi yang dibuat oleh kata benda.
Example: The , a, an
PREPOTITION
Preposition (preposition) is a word that can not change its shape and is usually placed in front of a noun or noun. Usually, prepositions show this location in the physical world.
Preposisi (kata depan) adalah kata Yang tidak dapat berubah bentuknya dan biasanya diletakkan di depan kata Benda atau pada kata benda. Biasanya, preposisi menunjukkan lokasi ini di dunia fisik.
Example:
"about," "above," "across," "after," "against," "along," "among," "around," "at," "before," "behind," "below," "beneath," "beside," "between," "beyond," "but," "by," "despite," "down," "during," "except," "for," "from," "in," "inside," "into," "like," "near," "of," "off," "on," "onto," "out," "outside," "over," "past," "since," "through," "throughout," "till," "to," "toward," "under," "underneath," "until," "up," "upon," "with," "within," and "without."
Do not play in the street/ Jangan bermain di jalan
I met John at the station/ Aku bertemu John di stasiun
Continue reading →

Pemikiran Teologi Mu’tazilah dan Syi’ah

0 komentar
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.

Mu’tazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Mu’tazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.

Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.

Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolok ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dan latar belakang kemunculan Mu’tazilah dan Syi’ah?
2.    Apa pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian dan sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah dan Syi’ah
2.    Untuk mengetahui pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mu’tazilah
1.     Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri". Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia berada di antara “manzil baina manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Mu’tazilah, orang-orang yang memisahkan diri .

Akan tetapi, dalam tradisi Mu’tazilah sendiri, Hasan Basri dianggap sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga . Selain itu, hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama gurunya dalam berbagai perjalanan . Ini membuat orang bertanya mengenai kebenaran cerita di atas.

Sementara itu, menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Mu’tazilah sesungguhnya diberikan oleh Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, Abu Hudzail dan lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh Mu’tazilah ketika mereka memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur Washil dianggap lebih baik dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai pendirinya.

Meski demikian, tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt. Hanya saja, menurutnya, Mu’tazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia berusaha menggabungkan dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno. Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga rancu dan sulit dibuktikan. Sebab, kenyataannya, Mu’tazilah telah lebih dahulu mapan sebelum filsafat Yunani masuk ke dalam Islam lewat terjemahan. 

Perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini dibanding dengan cabang Basrah lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.

Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Mu’tazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Mu’tazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Yang tidak percaya dipecat.

Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan, dan kemudian para pemimpin masyarakat.

Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini . Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832.  Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al- Wasiq.

Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Mu’tazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar kepada lawan-lawan Mu’tazilah, terutama ahli Al-hadits, ahli fiqh dan Syiah, untuk balik menjatuhkannya.

Namun, dalam tubuh Mu’tazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al- Jubai dan anaknya, Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Mu’tazilah. Sudah tentu, ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya, hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang lawan baru; Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah, sehingga beberapa saat lamanya, Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan.

Pada masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat Hijriyah), Mu’tazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Parsia. Ia bergandengan dengan Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Mu’tazilah dari aliran Basrah, walau diakui tidak sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.

2.    Pola Pemikiran dan Doktrin Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah pada dasarnya memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal ini di antaranya disebabkan banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani yang membawa pemujaan akal ke dalam pemikiran islam. kaum mu’tazilah banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teoplogi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal dan teologi mereka memiliki cortak liberal.

Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.

a.    Keesaan Tuhan.
Prinsip ini didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi haknya; baik dalam penegasian maupun penetapan.  Penetapan ini terkait dengan pemahaman Mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain dzat Allah.

b.    Keadilan Tuhan.
Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan- Nya adalah baik. Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh Mu’tazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘I’tizal’ kecuali ia berpegang pada keseluruhan dari lima prinsip Mu’tazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Mu’tazilah”.
1)    Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2)    Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orang tuanya.
3)    Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4)    Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya. Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5)    Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6)    Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf, adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya.
7)    Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu .

c.    Janji dan ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan ancaman-Nya itu; tidak mungkin terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia berdusta akan janji- Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi (tidak dapat dipercaya).

d.    Posisi di antara dua posisi.
Didefisinikan, bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq.  Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan, pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar. Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam Ijma, ia tidak pantas dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang mesti dilakukan terhadap seorang mukmin.

e.    Amar makruf nahi munkar.
Dalam hal ini diperlukan syarat-syarat, antara lain;
1)    Pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang jelek.
2)    Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainnya.
3)    Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak --bakal menimbulkan kerugian yang lebih besar. Misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib dilakukan.
4)    Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya itu akan menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak bakal menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5)    Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya tidak bakal menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya. 

3.    Tentang Lutf
Apakah Tuhan berkewajiban untuk melakukan sesuatu? Pertanyaan ini telah melahirkan kontroversi dikalangan ahli kalam. Penyataan bahwa Tuhan harus melakukan sesuatu atas hamba-hamba-Nya merupakan sesuatu yang sangat absurd dikalangan muslim tradisional Sunni. Sebaliknya, bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia. Di antara kewajiban tersebut, Tuhan wajib melakukan sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia. Tuhan wajib menepati janji-janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk- Nya dan lain-lain .

Konsep Lutf, Shalah wa al-Ashlah, keduanya adalah pelebaran paham Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanyaan di atas.
Lutf, bentuk masdar “la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan, keramahan dan kelembutan. Allah disebut “latif”, karena Dia Maha Penolong, Maha Halus dan Penyantun para hamba-Nya.  Dalam istilah kalam Mu’tazilah, lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk berperilaku mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan sebaliknya .

Akan tetapi, konsep lutf ini bukan berarti menghilangkan makna kebebasan manusia, konsep utama dalam faham Mu’tazilah. Menurut Abd Jabbar, lutf yang diberikan Tuhan kepada mukallaf bukan sebagai balasan, melainkan sebagai konsekuansi-Nya atas adanya pembebanan pada manusia.  Dan lutf inipun hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang dinilai punya potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin diberikan kepada orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam al- Qur’an,
“Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, maka Allah akan menjadikan mereka dapat mendengar....” (Al-Anfal, 23).
Abd Jabbar membagi lutf dalam tiga kategori;
1.    Lutf yang berhubungan dengan perbuatan Tuhan.
2.    Lutf yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
3.    Lutf yang berhubungan dengan selain perbuatan Tuhan dan manusia.

Lutf yang berhubungan dengan Allah, menurut Basyar ibn Muktamar, tidak merupakan kewajiban. Artinya, Tuhan tidak berkewajiban membuat atau memberikan lutf kepada semua manusia. Sebab, bila lutf tersebut merupakan kewajiban bagi Allah, maka di dunia ini tentu tidak ada kejahatan. Padahal, kenyataannya kejahatan masih banyak dan merajalela. Selain itu, kemungkinan manusia untuk berbuat; baik dan buruk, menjadi tidak mempunyai makna. Begitu pula tentang balasan surga dan neraka.

Lutf yang berhubungan dengan perbuatan manusia ada dua macam. Yang diaktifkan untuk menghilangkan kemudaratan, maka ini hukumnya wajib. Sedang lutf yang digunakan untuk aktifitas sunnah, maka tidak wajib.

Lutf yang tidak berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan tidak berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf, juga ada dua. Yakni, lutf yang berhubungan dengan hukum kebiasaan, dan lutf yang berhubungan dengan perbuatan yang -- diketahui-- tidak biasa berlaku. Untuk kondisi pertama, adanya lutf dianggap baik, sedang pada kondisi kedua, tidak baik bahkan jelek.

4.    Tentang Shalah wa Al-Ashlah.
Kata “shalah”, masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk. Sedang “aslah” adalah isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa al-Aslah” sebagaimana yang digunakan kaum Mu’tazilah, adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya.

Konsep ini didasarkan atas paham Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Tuhan menghendaki kebaikan-kebaikan. Menurut Mu’tazilah, jika Tuhan menghendaki kebaikan, maka Dia harus memberikan sarana-sarana kepada manusia, bagaimana harapan-Nya itu bisa direalisasikan. Artinya, Tuhan harus memberikan kebaikan, bahkan yang terbaik kepada manusia agar mereka dapat merealisasikan kebaikan sebagaimana yang diharapkan-Nya.

B.    Syi'ah
1.    Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran Syi’ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة  Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī  شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai     Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

2.    Sejarah munculnya Syi'ah
Para penulis sejarah Islam berpendapat bahwa Syi'ah lahir langsung setelah wafatnya Rosulullah SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan kaum Anshor di balai pertemuan Saqifah bani Sa'idah. Pada saat itu bani Hasyim menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sebagian lainnya bependapat bahwa Syi'ah lahir setelah wafatnya Utsman bin Affan (tahun 644-656 M).

Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s (imam pertama kaum Syi’ah) diketahui sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Rasulullah SAW  mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin  pergerakan di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia.     Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAW.

Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.

Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.

Keempat, peristiwa Ghadir Khum yang merupakan puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAW akan memberikan warna lain terhadap Islam.

3.    Pola Pemikiran dan Doktrin Syi'ah
Syi’ah memiliki beberapa doktrin diantaranya:
a.    Ahlul Bait secara bahasa ahlul bait berarti keluarga, ada 3 bentuk pengertian ahlul bait yaitu:
1)    Mencangkup isteri-isteri Rosulullah SAW  dan seluruh Bani Hasyim.
2)    Hanya Bani Hasyim.
3)    Terbatas hanya Rosulullah SAW, Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan imam-imam keterunan Ali.
b.    Al-Bada' , adalah keputusan Allah yang mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkanNya dengan keputusan baru.
c.    Asura, berasal dari kata asyara yang berarti sepuluh.Yang mempunya maksud yaitu hari peringatan wafatnya Husein bin Ali.
d.    Imamah (pemimpin).imamah meyakini bahwa harus ada pemimpin-pemimpin setelah Rosulullah.
e.    Ismah,berasal dari kata asama'  yang berarti terpelihara dan terpelihara. Doktrin ini meyakini bahwa imam-imam sepeti Rosulullah SAW  telah dijamin oleh Allah terhindar dari perbuatan salah dan lupa.
f.    Mahdawiyah, meyakini bahwa akan datangnya juru selamat pada hari akhir yang bernama Imam Mahdi.
g.    Marja'yiyah, dari kata  marja' yang artinya  tempat kembali.
h.    Raj'ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sebagian hamba Allah yang paling sholeh dan yang  paling durhaka untuk menunjukkan kebesaranNya.
i.    Taqiyah, yaitu sifat berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa.
j.    Tawasul,memohon kepda Allah dengan menyebutkan pribadi atau kedudukan seorang imam, nabi, atau bahkan para wali agar do'anya cepat terkabul.
k.    Tawalli dan Tabarri, yang aartinya mengangkat seorang sebagai pemimpinnya, tabarri yang berarti melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.

4.    Sekte-sekte dalam Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok  pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.

Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.

a.    Kaisaniyah
Adalah sekte Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali. Nama Kaisaniyah diambil dari nama sorang bekas budak Ali bin Abi Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.

b.    Zaidiyah
Adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni:  keturunan Fatimah binti Muhammad  SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani.

Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.  Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1)    Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)    Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)    Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)    Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)    Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

c.    Imamiyah
Adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin. Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.  Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1)    Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)    Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3)    Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4)    Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)    Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6)    Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash-Shadiq
7)    Ismail bin Ja'far  (721 – 755), adalah anak  pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

d.    Kaum Ghulat
Merupakan golongan yang berlebih-lebihan dalam memuja Ali bin Abi Thalib atau imam mereka yang lain dengan menganggap bahwa para imam terdebut bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah.

Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.

Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.

Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.

Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.

Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
                               
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri". Mu’tazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar

Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al- Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.

Implikasi dari bermunculannya aliran kalam yang berbeda-beda tersebut dalam bidang hukum khususnya hukum islam ialah adanya berbagai macam ikhtilaf  karena perbedaan sudut pandang dalam memahami hukum maupun metode yang di anut atau dilalui dari masing-masing aliran kalam tersebut.

Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak  bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.

Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.

B.    Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, hendaknya menyadarkan kita tentang keanekaragaman dalam Islam. Faham-faham yang ada dalam agama Islam hendaknya juga menjadi penambah khazanah pemikiran kita. Dalam pembahasan Ilmu Kalam ini, banyak faham-faham yang menyalahi, tapi kita juga jangan terlalu menyalahkan mereka karena setiap keyakinan yang mereka yakini mempunyai bukti atau argumentasi tersendiri, dan juga setiap keyakinan yang telah terlahir tidak mudah dirubah begitu saja disebabkan keyakinan adalah berasal dari sang pencipta.

DAFTAR PUSTAKA
Ali M. Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at Ilm al-  Kalam inda al-Muslimin
Ahmad ibn Yahya al-Murtadho, Kitab Tabaqat al-Mu’tazilah, ed. Susanna Diwald-Wiltzer, hal 9-24. Tentang Hasan Basri
Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2006
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar ,Yogyakarta, , 2004, hlm. xvii
Artikel D. Sourdel,“The Abbasid Caliphate” dalam ‘Cambridge History of Islam’, ed. PM. Holt, KS. Lambton dan Bernard Lewis " Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah, Analisa, Perbandingan"
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,      Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek Jilid II, Universitas Indonesia press, Jakarta, 2008.
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/01/078426800/Mengenal-4-Kelompok-dalam-Syiah
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fmjays.weebly.com%2Fuploads%2F6%2F4%2F7%2F3%2F6473144%2Fagus_t_sphi_teologi_muktazilah.doc&ei=OTGUUeayA8KQrQeStoCIAw&usg=AFQjCNFlLSG7-OfCSmZpU_z2ynKzXrz3pg&bvm=bv.46471029,d.bmk
Continue reading →

Pengertian Dan Penjelasan Sejarah Dan Fungsi Bahasa Indonesia

0 komentar
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
      Sebagai bahasa untuk ratusan juta penduduk yang tersebar pada ratusan pulau dengan bahasa daerah yang jumlahnya juga ratusan, bahasa Indonesia menanggung beban tugas yang amat besar karena ia dituntut untuk tetap menjadi sarana komunikasi yang mantap dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam konteks persataun bangsa yang tengah dan terus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, maka bahasa indonesia harus tetap mempertahankan dirinya sebagai sarana komunikasi yang efektif dan efisien tanpa kehilangan, apalagi mengorbankan keutuhan jati dirinya.

      Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan juga bahwa masa depan bahasa Indonesia berkaitan erat dengan masa depan bangsa dan negara. Barangkali,  inilah yang dimaksud dengan ungkapan yang menyatakan, “bahasa menunjukkan bangsa” yang diwariskan oleh para pendahulu kita. Jika hal itu dihubungkan dengan bangsa Indonesia,  masalah bahasa Indonesia sekarang dan masa yang akan datang juga tergantung pada sikap bangsa Indonesia terhadap bahasa nasional tersebut. Bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan terhadap masalah pembinaan dan pengembangan bahasa di tanah air kita ini.

B. Tujuan

      Berdasarkan kerangka pemikiran seperti yang dipaparkan di atas, pada makalah ini akan dikemukakan beberapa hal yang diharapkan akan mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kehidupan dan peradaban yang lebih maju, dan kita dapat memahami makna bahasa Indonesia baik dari sejarah dan fungsinya sebagai bahasa nasional.

BAB II

PEMBAHASAN

SEJARAH DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Bahasa Indonesia

      Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata “Indonesia” berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti “India” dan nesos yang berarti “pulau”. Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India

      Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia”. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia”.

      Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.

      Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
      Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).

      Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.

      Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

      Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.

      Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.

      Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.

      Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.

      Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

B. Fungsi Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum didalam :

1. Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

2. Undang- Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.

Maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai :

1. Bahasa Nasional

      Kedudukannya berada diatas bahasa- bahasa daerah. Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

a. Lambang kebanggaan Nasional.

      Sebagai lambang kebanggaan Nasional bahasa Indonesia memancarkan nilai- nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga, menjunjung dan mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.

b. Lambang Identitas Nasional.

      Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia. Berarti bahasa Indonesia akan dapat mengetahui identitas seseorang, yaitu sifat, tingkah laku, dan watak sebagai bangsa Indonesia. Kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.

c. Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya.

      Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Karena dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

d. Alat penghubung antarbudaya antardaerah.

      Manfaat bahasa Indonesia dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa Indonesia seseorang dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan mudah diinformasikan kepada warga. Apabila arus informasi antarmanusia meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan seseorang. Apabila pengetahuan seseorang meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

2. Bahasa Negara (Bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)

      Dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai :

a. Bahasa resmi kenegaraan.

      Bukti bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan adalah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu bahasa Indonesia digunakan dalam segala upacara, peristiwa serta kegiatan kenegaraan.

b. Bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan.

      Bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing. Apabila hal ini dilakukan, sangat membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek).

c. Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah.

      Bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.

d. Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.

      Kebudayaan nasional yang beragam yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula. Dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

      Keberhasilan upaya membahasaindonesiakan seluruh bangsa Indonesia akan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang berarti memantapkan pula jati diri bangsa. Seberapa jauh pandangan dan harapan yang telah dikemukakan di atas, sehubungan dengan sumbangan bahasa Indonesia dalam pesatuan dan jati diri bangsa, hal itu akan terpulang pada masyarakat penggunanya secara keseluruhan. Sementara itu, yang perlu ditambahkan pada bagian akhir makalah ini ialah bahwa upaya apa pun yang dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa haruslah didasarkan pada perencanaan bahasa yang telah digariskan secara nasional.

      Sebagai akibat dari begitu kompleksnya jaringan masalah kebahasaan di Indonesia karena adanya persentuhan antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada satu pihak, dan antara bahasa Indonesia dan bahasa asing pada pihak yang lain, ditambah pula dengan tuntutan agar bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien dalam berbagai bidang kehidupan, maka perencanaan bahasa itu tidak semata-mata didasarkan pada eksistensi bahasa Indonesia sebagai sistem fonologi, gramatikal, dan semantis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor nonkebahasaan seperti politik, pendidikan, iptek, kebudayaan, dan ekonomi.

B. Saran

      Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yg menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yg ada hubungannya dengan judul makalah ini.

      Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada kesempatan kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Finoza, Lamuddin.2008.Komposisi Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa NonJurusan Bahasa.Jakarta : Diksi Insan Mulia.

http://www.scribd.com/doc/94160687/Sejarah-Bahasa-Indonesia
Continue reading →

Pengertian Dan Penjelasan Teknik Membaca

0 komentar
TEKNIK  MEMBACA
    Secara garis besar aspek-aspek membaca dapat dibagi menjadi dua yaitu keterampilan yang bersifat mekanis dan keterampilan yang bersifat pemahaman
a.    Keterampilan yang bersifat mekanis, mencakup:
    Pengenalan bentuk huruf
    Pengenalan unsur-unsur liguistik (fonem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain).
    Pengenalan hubungan atau korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis).
    Kecepatan membaca bertaraf lambat.
b.    Keterampilan yang bersifat pemahaman mencakup:
    Memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal).
    Memahami signifikasi atau makna (misalnya maksud dan tujuan pengarang relevansi/keadaan kebudayaan, reaksi pembaca).
    Kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan.

1.   Jenis-jenis Membaca
Jenis-jenis membaca, ditinjau dari segi bersuara atau tidaknya orang waktu membaca itu terbagi atas:
A.    Membaca yang Bersuara
Yaitu suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan alat bagi guru, murid, ataupun pembaca bersama-sama orang lain. Jenis membaca itu mencakup:
1)   Membaca nyaring dan keras
Yakni suatu kegiatan membaca yang dilakukan dengan keras, dalam buku petunjuk guru bahasa Indonesia untuk SMA disebut membacakan. Membacakan berarti membaca untuk orang lain atau pendengar, guna menangkap serta memahami informasi pikiran dan perasaan penulis atau pengarangnya. Membaca nyaring ini biasa dilakukan oleh guru, penyiar TV, penyiar radio, dan lain-lain.
2)   Membaca Teknik
Membaca teknik biasa disebut membaca lancar. Dalam membaca teknik harus memperhatikan cara atau teknik membaca yang meliputi:
a.    Cara mengucapkan bunyi bahasa meliputi kedudukan mulut, lidah, dan gigi.
b.    Cara menempatkan tekanan kata, tekanan kalimat dan fungsi tanda-tanda baca sehingga menimbulkan intonasi yang teratur.
c.    Kecepatan mata yang tinggi dan pandangan mata yang jauh.
3)   Membaca Indah
Membaca indah hampir sama dengan membaca teknik yaitu membaca dengan memperlihatkan teknik membaca terutama lagu, ucapan, dan mimik membaca sajak dalam apresiasi sastra.
B.   Membaca yang Tidak Bersuara (dalam hati)
Yaitu aktivitas membaca dengan mengandalkan ingatan visual yang melibatkan pengaktifan mata dan ingatan. Jenis membaca ini biasa disebut membaca dalam hati, yang mencakup:

1.    Membaca teliti yaitu membaca yang menuntut suatu pemutaran atau pembalikan pendidikan yang menyeluruh.
2.    Membaca pemahaman yaitu membaca yang penekanannya diarahkan pada keterampilan memahami dan menguasai isi bacaan. Jenis membaca inilah yang akan penulis kaji lebih dalam lagi.
3.    Membaca ide yaitu membaca dengan maksud mencari, memperoleh serta memanfaatkan ide-ide yang terdapat pada bacaan.
4.    Membaca kritis yaitu membaca yang dilakukan secara bijaksana, penuh tenggang hati, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan hanya mencari kesalahan.
5.    Membaca skimming (sekilas) adalah cara membaca yang hanya untuk mendapatkan ide pokok
6.    Membaca cepat adalah keterampilan memilih isi bahan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan kita, yang ada relevansinya dengan kita, tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak kita perlukan.

2.    Tahap-tahap membaca
A.    Tahap I
Membaca bahan yang telah dipelajari, mengucapkannya dengan baik atau bahan yang mungkin telah diingat. Bahan-bahan tersebut mungkin berupa percakapan, nyanyian, serangkaian kalimat tindakan ataupun cerita sederhana mengenai hal-hal yang telah dialami.Dalam tahap ini, perlu ada bimbingan untuk mengembangkan atau meningkatkan responsi-responsi visual yang otomatis terhadap gambaran-gambaran huruf yang akan dilihat pada gambaran cetakan. Selain itu harus benar-benar memahami bahwa kata-kata tertulis itu mewakili atau menggambarkan bunyi-bunyi.
B.    Tahap II
Menyusun kata-kata serta struktur- struktur dari bahasa asing yang telah diketahui menjadi bahan dialog atau paragraf yang beraneka ragam. Pada tahap ini perlu dibimbing dalam membaca bahan yang baru disusun.
C.    Tahap III
Membaca bahan yang berisi sejumlah kata dan struktur yang masih asing atau belum biasa. Beberapa percobaan informal telah menunjukkan bahwa pembaca mengalami sedikit kesulitan bahkan tidak mengalami kesulitan sama sekali menghadapi sebuah kata baru yang diselipkan di antara tiga puluh kata biasa. Pada tahap ini pembaca acap kali teks-teks tata bahasa berisi paragraf-paragraf atau pilihan-pilihan yang sesuai buat bacaan.
D.    Tahap IV
Pada tahap ini, beberapa spesialis dalam bidang membaca menganjurkan penggunaan teks-teks sastra yang telah disederhanakan atau majalah-majalah sebagai bahan bacaan.
E.    Tahap V
Pada tahap ini seluruh dunia buku terbuka, dalam pengertian bahan bacaan tidak dibatasi.

3.     Tahap perkembangan keterampilan membaca
Berikut ini, dikemukakan sejumlah keterampilan membaca yang dituntut pada setiap kelas di sekolah dasar khususnya pada membaca dalam hati.
a.    Kelas I:
    Membaca tanpa bersuara, tanpa gerakan-gerakan bibir, dan tanpa berbisik
    Membaca tanpa gerakan-gerakan kepala
b.    Kelas II:
    Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir atau kepala.
    Membaca lebih cepat secara dalam hati daripada secara bersuara.
c.    Kelas III:
    Membaca dalam hati tanpa menunjuk-nunjuk dengan jari, tanpa gerakan bibir
    Memahami bahan bacaan yang dibaca secara diam atau secara dalamhati itu
    Lebih cepat membaca dalam hati daripada membaca bersuara.
d.    Kelas IV:
    Mengerti serta mamahami bahan bacaan pada tingkat dasar
    Kecepatan mata dalam membaca tiga kata per detik.
e.    Kelas V:
    Membaca dalam hati jauh lebih cepat dari pada membaca bersuara
    Membaca dengan pemahaman yang baik
    Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir atau kepala atau menunjuk-nunjuk dengan jari tangan
     Menikmati bahan bacaan yang dibaca dalam hati itu; senang membaca dalam hati.
f.    Kelas VI:
    Membaca tanpa gerakan-gerakan bibir; tanpa komat-kamit
    Dapat menyesuaikan kecepatan membaca dengan tingkat kesukaran yang terdapat dalam bahan bacaan
    Dapat membaca 180 patah kata dalam satu menit pada bacaan fiksi pada tingkat dasar.
Continue reading →

Pengertian Dan Penjelasan Bahasa Ragam Ilmiah

0 komentar
BAHASA RAGAM ILMIAH
Ragam bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah varaiasi penggunaan bahasa oleh para penutur bahasa itu. Dengan konsep itu, keberadaan bahasa Indonesia resmi (Baku) dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh para penuturnya merupakan salah satu bentuk variasi bahasa dari variasi bahasa Indonesia lainya. Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa bahasa Indonesia resmi digunakan pada tempat atau suasana yang resmi atau hal lain yang menjadi alasan digunakan bahasa resmi tersebut.

Ragam bahasa Indonesia dibedakan Alwi  (1998:3–6) berdasarkan penutur bahasa dan berdasarkan jenis pemakaian bahasa. Ragam bahasa Indonesia bedasarkan penutur diperinci menurut tinjauan  (1) daerah, (2) pendidikan dan (3) sikap penutur. Ragam bahasa Indonesia berdasarkan jenis pemakaian bahasa diperinci menurut tinjauan (1) bidang/pokok persoalan, (2) sarananya, dan (3) gangguan percampuran. Ragam-ragam bahasa Indonesia dapat dijelaskan berikut ini:

1.    Berdasarkan Daerah Asal Penutur
Ditinjau berdasarkan daerah asal penutur, bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Indonesia memiliki variasi atau ragam. Ragam-ragam bahasa Indonesia dari sudut daerah penutur ini sering disebut dengan logat.  Dengan demikian akan terdapat beberapa ragam bahasa Indonesia yakni bahasa Indonesia logat Batak, bahasa Indonesia logat Minangkabau, bahasa Indonesia logat Jawa, bahasa Indonesia logat Aceh, bahasa Indonesia logat Sunda, bahasa Indonesia logat Bali, bahasa Indonesia logat Menado, bahasa Indonesia logat Melayu dan sebagainya.

2.    Berdasarkan Pendidikan Penutur
Berdasarkan sudut pandang pendidikan para penuturnya, bahasa Indonesia dibedakan atas beberapa ragam atau variasi. Dari sudut itu, kelihatan bahasa Indonesia memiliki variasi penggunaannya. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang  yang berpendidikan berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tidak berpendidikan.  Oleh karena itu, dapat dibedakan adanya bahasa Indonesia ragam  orang berpendidikan dan bahasa Indonesia ragam orang tidak berpendidikan.

3.    Berdasarkan Sikap Penutur
Ragam bahasa Indonesia berdasarkan sikap penutur dapat dibedakan atas beberapa macam.  Ragam bahasa menurut sikap penutur penggunaan bahasa Indonesia itu dapat pula disebut dengan langgam atau gaya. Oleh karena itu, bahasa Indonesia yang digunakan para penutur berdasarkan sikapnya dapat dibedakan atas beberapa macam yakni bahasa Indonesia dengan resmi; bahasa Indonesia ragam akrab, bahasa Indonesia ragam santai, dan sebagainya.

4.    Berdasarkan Pokok Persoalan
Bahasa indonesia ditinjau berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan dapat pula dibedakan atas ragam-ragam bahasa Indonesia itu.  Setiap pokok persoalan atau bidang yang dibicarakan telah  memperlihatkan variasi bahasa Indonesia   sesuai dengan bidang itu. Bahasa Indonesia yang  digunakan dalam bidang Militer telah diperlihatkan kekhasannya atau variasi dengan bahasa Indonesia yang dapat digunakan dalam bidang Kedokteran, sebagai misal. Pengungkapan  adanya operasi  dalam bidang Kedokteran  akan berbeda dengan mengungkapan  adanya operasi  dalam bidang Militer. Jadi, ragam bahasa menurut pokok persoalan dibedakan adanya ragam bahasa bidang agama, politik, militer, teknik, kedokteran, seni, dan sebagainya.

5.    Berdasarkan Sarana
Bahasa Indonesia,  dilihat berdasarkan sarananya, dapat dibedakan atas ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tertulis.  Bahasa Indonesia lisan masing-masing memiliki variasi dengan bahasa Indonesia tulis. Bahasa Indonesia tulis tidak lagi persis sama dengan bahasa Indonesia lisan.  Hal itu terjadi karena bahasa Indonesia tulis telah diatur dengan sistem atau aturannya sendiri. Akhirnya, bahasa Indonesia lisan memiliki kekhasan dan bahasa Indonesia tulis juga memiliki kekhasan. Namun,  kadang-kadang perlu dicermati tidak semua bahasa Indonesia yang lisan sebagai ragam lisan karena mungkin yang lisan itu pada hakikatnya adalah bahasa Indonesia ragam tulis yang dilisankan seperti dalam berita radio, pembacaan naskah, pidato menggunakan naskah, dan sebagainya.
Bahasa ragam lisan jelas memiliki perbedaan dengan bahasa ragam  tulis.  Lyons  (1977:69)  mengemukakan secara mendasar perbedaan bahasa ragam lisan dan bahasa ragam tulis terlihat pada ciri  (1) perbedaan tingkat pementingan unsur gramatika, leksikal, prosodi, dan paralingual;  (2) perbedaan perlengkapan unsur; dan (3) adatidaknya sifat kespontanan. Berdasarkan ciri itu akan terlihat perbedaan bahasa ragam lisan dan ragam tulis secara nyata. pada intinya ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia tulis dapat dilihat kekhasanya masing-masing dari aspek:  (1)  kosakata yag dimilikinyadan (2) struktur kalimat yang digunakanya.

6.    Berdasarkan Gangguan Percampuran
Bahasa Indonesia berdasarkan Pemakaiannya telah memperlihatkan adanya percampuran dengan bahasa asing dengan yang tidak mengalami percampuran. Hal itu terlihat bila bahasa Indonesia digunakan oleh para penuturnya terutama penutur di tingkat atas. Oleh karena itu, pada dasarnya bahasa Indonesia dapat dibedakanatasa ragam bahasa Indonesia mengalami percampuran dengan ragam bahasa Indonesia yang tidak mengalami percampuran. Untuk menambah khasanah pemikiran tentang ragam bahasa indonesia ada baiknya dikemukakan ragam kreatif bahasa Indonesia menurut Sudaryanto. (1997:50) yakni: (1) bahasa Indonesia ragam jurnalistik; (2) bahsa Indonesia ragam literer;  (3) bahasa Indonesia ragam filosofik;  (4) bahasa Indonesia ragam akademik;  (5) bahasa Indonesia ragam bisnis. Penjelasan keterkaitankeima ragam ituakan dijelaskan berikut ini:
a. Ragam jurnalistik eksis ditengah pengaruh dan mempengaruhi keempat ragam yang lain. Kepolosan merupakan alas utama ragam jurnalistik dengan menggunakan daya lugas mengimformasi fakta.
b. Ragam literer atau ragam sastra dengan alas utama kepekaan mengunakan daya kejut mengimanijasi.
c. Ragam filosofik muncul dengan alas kearifan menggunakan daya tualang  berkontemplasi atau daya renung.
d. Ragam akadimik menggunakan alas kejernihan dengan daya canggih mengbtraksi.
e. Ragam bisnis menggunakan alas keramahan dengan daya jerat menyugesti.
Continue reading →

Pengertian Dan Penjelasan Penyuntingan Naskah

0 komentar
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Penyuntingan Naskah

Menurut KBBI (2007:1106) definisi penyuntingan adalah proses, cara, perbuatan menyunting atau sunting-menyunting. Sedangkan definisi menyunting adalah
1.    menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat).
2.    merencanakan dan mengarahkan penerbitan (surat kabar, majalah).
3.    menyusun atau merakit (film, pita rekaman) dengan cara memotong-motong dan memasang kembali.
Untuk menjadi penyunting naskah ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang. Persyaratan itu meliputi penguasaan ejaan bahasa Indonesia, penguasaan tata bahasa Indonesia, ketelitian dan kesabaran, kemampuan menulis, keluwesan, penguasaan salah satu bidang keilmuan, pengetahuan yang luas dan kepekaan bahasa.
Salah satu tugas dan kewajiban ilmuwan (scientist) dan pandit (scholars) yang melakukan penelitian ialah melaporkan hasil kegiatannya kepada masyarakat lingkungan yang mendukungnya.Laporan ittu harus ditulis selengkapnya secara jelas, tepat tetapi singkat dan lugas untuk kemudian diterbitkan. Dalam proses penyiapan penerbitan laporan itu terlibat penyunting yang akan membantu pengolahan naskah tertulis untuk menjadi bahan tercetak yang akan disampaikan ke masyarakat luas untuk dibaca.
Salah satu tugas pokok penerbit adalah menerbitkan naskah pengarang/penulis menjadi buku. Definisi naskah sendiri menurut KBBI (2007:776) adalah
1.    karangan yang masih ditulis dengan tangan
2.    karangan seseorang yang belum diterbitkan
3.    bahan-bahan berita yang siap untuk diset
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa tugas penyunting karya terbatas pada pengolahan naskah menjadi suatu bahan yang siap , dan menawasi pelaksaan segi teknis sampai naskah tadi . penyunting bukan penerbit, jadi mereka tidak bertanggung jawab atas masalahkeuangan, penyebaluasan serta pengelolaan suatu penerbitan. Para penyunting bertanggung jawab atas isi dan bukan atas produksi bahan yang diterbitkan.

B.    Tujuan Penyuntingan

Tujuan Penyuntingan yang dilakukan oleh para penyunting adalah sebagai berikut.
1.    Untuk menjadikan taipskrip sebagai karya yang sempurna yang dapat dibaca dan dihayati dengan mudah oleh pembaca apabila diterbitkan kelak.
2.    Untuk memastikan pengaliran atau penyebaran idea daripada penulis kepada pembaca dapat disampaikan dalam bahasa yang gramatis, jelas, indah dan menarik.
3.    Untuk menjadikan persembahan e-buku yang akan diterbitkan itu dapat menggambarkan nilai dan identiti karya itu sendiri sehingga dapat menarik. minat pembaca.
4.    Untuk memastikan pengaliran dan fakta berkenaan disampaikan dengan jelas, tepat, dan tidak menyalahi agama, undang-undang, dan norma masyarakat.
Dalam penyuntingan, kita mengenal dua tahap penyuntingan, yaitu penyuntingan substansif dan penyuntingan kopi. Berdasarkan tahap-tahap penyuntingan yang ada, maka ada beberapa tujuan lain dari penyuntingan.

1.    Penyuntingan Substantif
Tujuan penyuntingan subtantif dilakukan adalah untuk memastikan hasrat atau idea penulis dapat disampaikan setepat, sepadat, dan sejelas yang mungkin. Semasa membuat penyuntingan subtantif, editor akan membaca taipskrip sepintas lalu dengan memberikan tumpuan kepada kandungan, pendekatan secara menyeluruh, bahasa, susunan atau konsep taipskrip berkenaan.
Berdasarkan hal diatas, editor akan membuat teguran dan cadangan kepada penulis untuk sama ada melengkapkan taipskrip, menulis semula, menyusun semula, menggugurkan atau memotong bahagian teks atau ilustrasi yang tidak perlu, dan membuat tambahan.
Berikut ialah perkara yang perlu diteliti semasa penyuntingan substantif:
a)    Tajuk tepat dan jelas
b)    Pembahagian bab dan tajuk kecil jelas
c)    Adanya kesinambungan antara bahagian, bab dan paragraf.
d)    Keseimbangan antara setiap bab dan paragraf.
e)    Taipskrip tidak bertentangan dengan undang-undang, moral dan agama.
f)    Penguasaan bahasa, keselarasan istilah dan ejaan.
g)    Bahan awalan, teks dan akhir hendaklah lengkap mengikut halamankandungan.
h)    Petikan bahan daripada karya lain telah mendapat keizinan.

2.    Penyuntingan Copy
Tujuan penyuntingan kopi adalah untuk menghapuskan semua halangan yang wujud antara pembaca dengan apa yang hendak disampaikan oleh penulis. Penyuntingan kopi memerlukan perhatian yang teliti terhadap setiap butiran di dalam taipskrip.
Editor perlu berpengetahuan tentang apa yang patut disunting dan gaya yang patut diikuti di samping mempunyai kebolehan untuk membuat keputusan dengan cepat, lojik, dan yang boleh dipertahankan. Semasa membuat suntingan kopi, editor akan membaca taipskrip berkenaan dengan teliti, iaitu membaca perkataan demi perkataan, ayat demi ayat, baris demi baris dan kadang-kadang melihat huruf demi huruf. Kebanyakan daripada masa penyuntingan itu, editor akan berurusan dengan hal penyusunan, bahasa dan kebolehbacaan taipskrip itu.
Tahapan dalam penyuntingan kopi:
a)    Membuat penyuntingan baris demi baris.
b)    Memberi tumpuan khusus kepada fakta dan bahasa.
c)    Memastikan keselarasan ejaan, istilah dan gaya bahasa.
d)    Memastikan ketepatan dan keselarasan ilustrasi dan bahan lain dalam teks tersebut.
Berikut ialah hal-hal yang perlu diteliti semasa penyuntingan kopi:
a)    Fakta - Pastikan semua butiran dalam teks betul. Editor perlu menyemak dengan teliti untuk memastikan ketepatan. Kadang-kadang kesilapan fakta boleh berlaku semasa teks ditaip.Contohnya, papan lapis menjadi papan lapik dan tidak mahal harganya menjadi mahal harganya.Selain itu ada sesetengah pernyataaan yang tidak tepat dan berunsur negatif sehingga boleh membawa kepada tindakan undang-undang.
b)    Bahasa, bahasa yang dimaksud mencakup.
1)    Diksi ialah pemilihan penggunaan kata-kata. Dalam hal ini editor kopi perlu memastikan
2)    kata-kata yang dipilih berkesan dari segi maksud dan
3)    kata-kata yang dipilih sesuai dengan laras bahasa yang digunakan.
C.    Kode Etik Penyuntingan Naskah
Dalam penyuntingan naskah, ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan penyunting naskah sebelum mulai menyunting.Dengan demikian, tidak terjadi persoalan/masalah di kemudian hari, terutama dalam kaitannya dengan penulis/pengarang.Rambu-rambu ini merupakan pedoman/pegangan bagi penyunting dalam menyunting naskah.Rambu-rambu inilah yang kita sebut “Kode Etik Penyuntingan Naskah”.Adapun kode etik dalam penyuntingan naskah adalah:
1. Penyunting naskah wajib mencari informasi mengenai penulis naskah sebelum mulai menyunting naskah.
2.  Penyunting naskah bukanlah penulis naskah.
3.  Penyunting naskah wajib menghormati gaya penulis naskah.
4.  Penyunting naskah wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah yang disuntingnya.
5.  Penyunting naskah wajib mengonsultasikan hal-hal yang mungkin akan diubahnya dalam naskah.
6.  Penyunting naskah tidak boleh menghilangkan naskah yang akan, sedang, atau telah disuntingnya.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penyuntingan adalah proses, cara, perbuatan menyunting atau sunting-menyunting yakni menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat).Sedangkan naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan atau     karangan seseorang yang belum diterbitkan.

B. Saran

Jurnalistik merupakan ilmu terapan yang bisa didapatkan secara otodidak, kursus, baca, dan latihan secara intensif.Namun jika hendak mendalaminya secara keilmuan atau akademis, tentu saja harus masuk pendidikan formal. Dalam jurnalistik penyuntingan merupakan sebuah bagian atau proses dari terbitnya sebuah berita atau sebagainya. Dalam mendalami tentang dunia jurnalistik terutama penyuntingan, sangat dituntut pemahaman tentang penggunaan kaidah bahasa Indonesia. Karena hal ini akan menunjang profesionalisme seorang penyunting. Selain itu, pemahaman tentang teori atau ilmu tentang penyuntingan akan sangat bermanfaat.
Continue reading →

Sejarah dan Pemikiran Al-Asy'ariyah dan Al-Maturidiyah

0 komentar
A. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Al-Asy'ariyah
1. Sejarah Aliran Al-Asy'ariyah
Nama lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935M. [2]
Gerakan Al-Asy’ariah mulai pada abad ke-4.Ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya Mu’tazilah. Dalam konflik keras ini ,al-Baqilani memberikan andil besar.ia di anggap sebagai pendiri kedua aliran Asy’ariah. Permusuhan I ni mencapai puncaknya pada abad ke-5 H atas prakarsa Al-kundari (456 H = 1064M), yang membela Mu’tazilah.Di khurasan  ia mengorbankan fitnah yang berl;angsung selama 10 th. Tragedi ini menyebabkan imam al-Haramain menyinggir ke jihaz.sejumlah tokoh besar dari aliran Al-Asy’ariah di penjarakan, termasuk al-Qusyairi (466 H=1074M)sang sufi yang menulis risalah yang berjudul Syikayah al-Sunnah di Hikayah ma Nalahum min al-Mihnah.
Hingga hari ini, pendapat Al-Asy’ariah masih tetap menjadi akidah  Ahl al-Sunnah. Pendapatnya sangat dekat dengan pendapat al-Maturidi yang satu saat pernah di tentang karena persaingan dalam masalah fiqih, karena ia mewakili orang-orangSyafi’iyah  dan malikiyah mendominasi pendapat Al-Asy’ariyah.
2. Tokoh-tokoh Dalam Aliran Al-Asy'ariyah
  • a. Abu Hasan Al-Asy’ari
  • b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
  • c. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
  • d. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
  • e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
  • f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
3. Metode Asy’ariah
Madzhab asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’(Membuat bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.
Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[3]
4. Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
  • Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
  • Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
  • Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
  • Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
  • Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
  • Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
  • Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[4], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut :
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[5] Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
5. Pemikiran Al-Asy’ari dalam Masalah akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah yaitu :
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
6. Doktrin-Doktrin Teologi Al- Asy’ary
Corak pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[6] Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari:
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b) Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri[7]. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
d) Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim[8]. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
e) Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq. Dengan demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari misi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik mutlak.
f) Kedudukan orang berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[9]mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr., predikat bagi seseorang haruslah salah satunya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, al-asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
7.  Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin  Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
8.   Dasar-Dasar Pemikiran Al-Asy’ari Dalam Akidah.
a. Periode Pertama
pada periode  ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode kedua
pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayah (hidup) ,Al-Ilmu (ilmu) ,Al-Iradah (berkehendak) ,Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar (melihat),Al-Kalam (berbicara)
c. Periode ketiga : pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
  • Takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
  • Ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
  • Tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
  • Tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
B. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Al- Maturidiyah
1. Definisi Aliran Maturidi
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[10]
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur  al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah  Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
2. Sejarah Aliran Maturidi
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[11]. gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.
3. Tokoh-Tokoh dan Ajarannya
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al- Yusr Muhammad al-Badzawi  yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang  dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi. 
Al-Badzawi   sendiri   mempunyai   beberapa   orang   murid,   yang   salah  satunya adalah Najm al-Din  Muhammad  al-Nasafi  (460-537   H),  pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah.[12]
Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya  sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah  ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham  Al-Maturidi dan golongan  Bukhara  yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.
4. Doktrin-doktrin Aliran Al-Maturidi
a.       Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.  Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1.      Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2.       Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu
3.      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[13]
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada peretentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.[14]
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d.       Sifat Tuhan
Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e.   Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.    Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[15]
g.   Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).  setiap perbuatan tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
· Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
· Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.
h.   Pelaku dosa besar
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad
i.    Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[16]
5.   Pokok-Pokok ajaran Al-Maturidi
· Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti  (perintah-perintah Allah SWT).
· Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
· Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
6.   Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi
· Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)
Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung  ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan  asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa  janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
· Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi  dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara  adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary. Aliran   Maturidiyah  Bukhara lebih dekat  kepada  Asy'ariyah  sedangkan   aliran Maturidiyah Samarkand   dalam   beberapa hal   lebih   dekat   kepada Mutazilah,terutama dalam  masalah  keterbukaan   terhadap peranan akal[17]
7.  Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam
Aliran   al-Maturidiyah   ini  telah   meninggalkan   pengaruh   dalam dunia Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri mengambil sikap tengah antara aqal dan dalilnnaqli,   pandangannya yang  bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha   menghubungkan antara fikir  dan  amal,mengutamakan pengenalan   pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh banyak ulama    kalam  namun  masih berkisar pada satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
  Keistimewaan   yang   juga  dimiliki   al-Maturidiyah   bahwa   pengikutnya   dalam perselisihan   atau   perdebatan   tidak   sampai   saling   mengkafirkan   sebagaimana   yang pernah terjadi dikalangan khawarij, rawafidh dan qadariyah.[18]Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.
8.  Karya Aliran Al-Maturidi
· Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
· Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
· Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa.
C.    Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi
· Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
· Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[19]
· Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
· Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
· Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
· Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.[20]
· Tentang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus  Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan :
· Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
· Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang Al_Qur’an,kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa tuhan, dan juga janji tuhan.
· Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran  al-Asy'ariyah  dalam merad pendapat-pendapat  Mu'tazilah.Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka  atau dalam masalah cabang.
· Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
B.     Saran-saran
Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, “setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak benar tentang Dia
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003),
Abd2ul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: )
Hamid,Jalal Muhammad Abd,Al-, Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh,Dar Al-Kitab,Beirut,1975.
Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
Nasution, Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986.
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009

[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cd ii Jakm-
gn I aniuhnia Prcss 2005). h. 24
[2] ) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm120.
[3]  Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66
[4] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[6]) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm121
[7] ) Ibid.,hlm.122.
[8] ) Ibid.,hlm.122.
[9]  Ibid.,hlm.124
[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), h. 167.
[11] ) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[12] Harun Nasution. Op.cit
[13] ) Ibid.,hlm.126
[14]  Ibid.,hlm.127
[15] ) Ibid.,hlm.129.
[16] Nasution.op.cit hal 131-132
[17] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
[18] Abd2ul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq  (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:
t.th). h, 28
[19] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm127
[21] Al-Ustadz Fadlol bin Syaikh Abdissyakur Seniori, al-kawakib al-Lamaah, Surabaya:hidayah, hal 36
Continue reading →

Labels